SANG PRESIDEN YANG TAK DIANGGAP
Mat/3A-29
PRESIDEN YANG TAK DIANGGAP
Masyarakat
Indonesia umumnya hanya mengenal presiden Indonesia yaitu Soekarno, Soeharto,
BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono
dan Joko Widodo. Padahal, masih ada Presiden Indonesia asal Banten yakni
Syafruddin Prawiranegara walaupun hanya menjabat 207 hari.
Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga
ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang,
Banten, 28 Februari 1911 – meninggal
di Jakarta,
15 Februari 1989 pada umur 77
tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik
Indonesia yang juga
pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta
jatuh ke tangan Belanda
saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember
1948.
Syafruddin Prawiranegara merupakan
salah satu tokoh dibalik tetap berdirinya Republik ini pada masa awal
kemerdekaan. Syafruddin Prawiranegara adalah orang kepercayaan Soekarno-Hatta.
Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer II Belanda terhadap Ibu Kota Yogyakarta
menyebabkan Presiden Sukarno Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap kemudian
diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka.
Wakil Presiden Mohammad Hatta yang cemas dengan kondisi itu segera mengirimkan
telegram kepada Menteri Kemakmuran RI, Syafrudin Prawiranegara, yang sedang
berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Selain itu Telegram juga diberikan kepada yang lain seperti kepada dr
Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di New Delhi (India), untuk membentuk
pemerintahan darurat, jika usaha Mr Syafruddin di Sumatera Barat tidak
berhasil. Telegram ini ditandatangani M Hatta selaku Wapres, dan Agus Salim
sebagai Menlu.
Sayang Mr
Syafruddin tidak tahu tentang telegram tersebut karena tidak pernah sampai ke
Bukittinggi karena sulitnya komunikasi pada saat itu, Syafruddin tidak pernah
tahu ada mandat kepadanya untuk membentuk pemerintahan darurat. Ia hanya
mendengarnya dari siaran radio bahwa ibu kota Yogyakarta telah diduduki
Belanda, pada 19 Desember 1949 sore. Ia menemui Teuku Muhammad Hassan dan
menyampaikan kemungkinan kevakuman pemerintahan. Ia pun mengusulkan supaya
dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam
bahaya. Setelah berdiskusi panjang lebar, termasuk soal hukum karena tidak ada
mandat, maka dibentuklah pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat itu
dipimpin Mr Syafruddin dan TM Hasan sebagai wakilnya. Kesepakatan dua tokoh ini
merupakan embrio dari pembentukan pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian
dilaksanakan di Halaban.
Atas usaha
Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian
Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan
serta kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI
dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua
kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada
tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Walaupun
enggan disebut sebagai presiden, Kuding tetap ingin disebut Ketua PDRI saja,
seperti percakapan antara Kamil Koto dengan Presiden yang hanya menjabat selama
tujuh bulan lebih ini dalam buku yang ditulis Akmal Nasery Basral dengan judul
"Presiden Prawiranegara".
"Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno,? " tanya Kamil Koto.
"Tidak persis begitu. Secara tugas memang iya, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI," kata Syafruddin Prawiranegara, menjawab pertanyaan Kamil Koto.
"Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno,? " tanya Kamil Koto.
"Tidak persis begitu. Secara tugas memang iya, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI," kata Syafruddin Prawiranegara, menjawab pertanyaan Kamil Koto.
Atas usaha Pemerintah Darurat,
Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri
upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke
Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden
Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah
terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli
1949 di Jakarta.
Liciknya
Pemimpin Negeri ini : Kalau Anda masuk ke Bina Graha era Orde baru Ada satu
foto yang terpajang besar dan mencolok dalam foto itu Jenderal Besar Soedirman
dan Soeharto masih muda.Tapi tahukan Anda kalau foto tersebut telah melalui
proses Cropping dengan memotong gambar Mr Sjafruddin Prawiranegara dan
hanya menampilkan Jend Besar Soedirman dan Soeharto








0 Response to "SANG PRESIDEN YANG TAK DIANGGAP"
Posting Komentar