SEJARAH SUKU BADUY
Indonesia mempunyai beribu-ribu suku.
salah satunya adalah suku baduy
sekarang saya akan posting tentang sejarah suku baduy.
monggo untuk dibaca
Mat/3A-29
SEJARAH SUKU BADUY
Orang
suku baduy atau orang kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di
wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan
yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal
dari sebutan para peneliti Belanda yang mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat
yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai
Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka
sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Orang baduy sendiri tidak mau
disebut baduy, mereka lebih senang disebad dengan orang Kanekes. Karena Kanekes
merupakan nama wilayahnya sendiri. Orang baduy bagi mereka
merupakan sebutan untuk suku di arab yang paling bodoh atau primitive.
Namun sekarang, orang baduy sedikit terbuka dan menerima untuk disebut orang
Baduy.
Jika
telah disebutkan diatas bahwa suku baduy merupakan cikal bakal adat sunda,
namun kenyataannya sangatlah berbeda. Suku
sunda memiliki sifat optimistis, ramah,
sopan, riang dan juga terbuka, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan
terlalu perasa secara emosional. Karakter orang Sunda seringkali ditampilkan
melalui tokoh populer dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal,
tetapi seringkali nakal. Selain itu mereka juga terkenal dengan mudahnya
menerima Islam, karena ajarannya telah sama dengan islam. Namun, Ketika kita melihat orang Baduy, mereka memang bersifat ramah tetapi
mereka kenapa lebih bersifat tertutup dan juga menolak Islam.
Menurut
kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus
ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai
nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya,
termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk
menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis
dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten
merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari
wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut
sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang
sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit
di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang
khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada
masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin
adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh
Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset
kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang
Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat
terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak
jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran,
ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang
Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara
resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah
ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan
(wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun
diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala
adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada
versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra Prabu
Siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan Sayyidina Ali. Sang
putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita,
dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk
islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu
Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi
hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama
dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah
berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40
pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka
dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi
sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet. Dan ki Saih
ini kehadirannya adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan
kebenaran.
Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan
kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga
dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut
ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari
'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan
apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima. Dan itupun hanya yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima. Dan itupun hanya yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Orang Kanekes Dalam tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal
sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka.
Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa
mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto
pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan
membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak
usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat
membaca atau menulis.
Orang
Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan
orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan
cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan
secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda
lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat
Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok
tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu
warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas
Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta
memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan
orang asing.
Kanekes
Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar,
warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian
peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes
Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada
beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes
Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri
masyarakat orang Kanekes Luar
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
- Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah
kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat),
melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk
Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam
sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan
mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan
gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes
seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada
saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai
dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari
sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima
para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan
bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat
tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak
menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang
bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai
sekarang selalu ditolak masuk.
Pada
saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan
kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3
sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes
sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut
biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Suku
asli masyarakat Banten yang memiliki rumah adat Sulah Nyanda. Terletak di dalam
pegunungan, Suku Baduy hidup di dalam rumah adat yang terbuat dari kayu dan
bambu ini.
Pembuatan
rumah adat Sulah Nyanda dilakukan dengan cara gotong royong menggunakan bahan
baku yang berasal dari alam. Bahan seperti kayu digunakan untuk membangun
pondasi, sedangkan pada bagian dasar pondasi menggunakan batu kali atau umpak
sebagai landasannya.
Hal
yang unik dari pembangunan rumah ini adalah dibangun dengan mengikuti kontur
tanah. Hal ini berkaitan dengan aturan adat yang mengharuskan setiap masyarakat
yang ingin membangun rumah tidak merusak alam sekitar demi membangun suatu
bangunan. Karenanya, tiang-tiang rumah adat Suku Baduy tidak memiliki
ketinggian yang sama. Sedangkan anyaman bambu digunakan dalam pembuatan bilik
dan lantai rumah. Untuk atap, rumah adat Suku baduy menggunakan ijuk yang terbuat
dari daun kelapa yang telah dikeringkan.
Rumah
adat Sulah Nyanda dibagi dalam 3 ruangan yaitu bagian sosoro (depan), tepas
(tengah) dan ipah (belakang). Masing-masing ruangan berfungsi sesuai dengan
rencana pembuatan.
Pada
bagian depan rumah atau yang biasa disebut sosoro berfungsi sebagai ruang
penerima tamu. Hal ini dikarenakan tamu tidak diperkenankan masuk ke dalam
rumah. Fungsi lainnya digunakan sebagai tempat bersantai dan menenun bagi kaum
perempuan. Bagian depan ini berbentuk melebar ke samping dengan lubang di
bagian lantainya.
Sedangkan
bagian tengah atau biasa disebut tepas digunakan untuk aktivitas tidur dan
pertemuan keluarga. Sementara pada bagian belakang rumah atau biasa disebut
imah digunakan sebagai tempat untuk memasak serta menyimpan hasil ladang dan
beras. Tiap ruangan ini dilengkapi dengan lubang pada bagian lantainya.
Lubang
di lantai rumah Suku Baduy berfungsi sebagai sirkulasi udara. Ini dikarenakan
rumah adat Suku Baduy tidak dilengkapi dengan jendela. Tujuan tidak dibangunnya
jendela agar para penghuni rumah yang ingin melihat keluar diharuskan pergi
untuk melihat sisi bagian luar rumah.
Baduy
Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan.
Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian
dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak
memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin.
Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu.
Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Kelengkapan busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu.
Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Kelengkapan busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.







11 September 2016 pukul 14.37
nonton film online
rupiahqq
kartuq
hoyapoker
5 November 2018 pukul 20.45
Bolavita adalah agen judi online dengan berbagai game menarik.
- Casino online
- Bolatangkas
- Taruhan bola online / sportsbook
- Poker Online
- Tembak ikan
- Slot Game
- Togel online SGP / HK / KL
• Baccarat
• Dragon Tiger
• Roulette
• Sic Bo
• Niu-Niu
• Sakong
• Fan Tan
Untuk Proses Deposit dan withdraw cepat bisa melalui.
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )
Bonus Deposit + Cashback, Kunjungi Website Kami di bolavita club