TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM
mat 3A/29
TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM
a. Ibnu Khaldun
(1332 – 1406 M)
Ia yang
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan kemampuan manusia untuk membuat
analisis dan strategis sebagai hasil dari proses berfikir. Pendidikan merupakan
transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan
eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
b. Abduh Ibnu
Hasan Khairullah (1849 M)
Ia mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan mendidik
akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak
didik mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Proses pendidikan dapat
membentuk kepribadian muslim yang seimbang, pendidikan tidak hanya
mengembangkan aspek kognitif (akal) semata tapi perlu menyeleraskan dengan
aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan).
c. Muhammad
Iqbal (1877 – 1938M)
Ia berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian
tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan
subtansi dari peradaban manusia. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang
mampu memadukan dualisme (antara aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara
sama dan seimbang).
d. Ahmad Dahlan
(1869 – 1923M)
Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah yang
berpandangan bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia yang (1) baik budi,
yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan, yaitu alam dalam ilmu-ilmu umum dan
(3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan agama dan
pendidikan umum dipadukan secara selaras dan berpegang kepada Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
e. Al-Kindi
Al-Kindi nama
lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu
Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama
kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap
di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang
terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal
untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Dalam hal
pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan
teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani
Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat
tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran
jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu
pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat,
dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan
ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof
terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf
al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).
Filsafat atau
Pemikirannya
a. Talfiq
Al-Kindi berusaha
memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah
pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat
dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan
umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama
disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang
benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas
tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah
filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian,
orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari
kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang
ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk
berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus
menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada
yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi
beragama.
Pengingkaran
terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena
hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaaan antara keduanya, yaitu:
1)
Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar,
sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena
diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh
para Rasul dalam bentuk wahyu.
2)
Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir
atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an
memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
3)
Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan
keimanan.
Walaupun Al-Kindi
termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan
akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa,
menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia.
Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama
dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual,
ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa
nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling
berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi
tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan
pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat
Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat
Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa
adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa.
Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya
jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal
dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya
bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah
qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena
diqadimkan oleh Tuhan.
3. Moral
Menurut Al-Kindi,
filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang
filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri
sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para
ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
f.
Al-Farabi
Nama lengkapnya
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan
orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr.
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti
Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Filsafat dan Pemikirannya
a) Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha
memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama
pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena
itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam
ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak
dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia
dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk
mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah
idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih
dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea
merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya.
Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila
menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya
Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua
filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun
terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1)
Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2)
Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara
keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3)
Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal
definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang
ada secara mutlak.
Adapun perbedaan
agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada
kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh
kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran.
Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya,
dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat
Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak
berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa
ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b) Jiwa
Adapun jiwa,
Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa
bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad
berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian
jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah
yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan
diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c) Politik
Pemikiran
Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan
dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’
al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak
dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada
kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai
fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena
kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk
mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara.
Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau
penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan
organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus
orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara
yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus
memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang
tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan
seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat
jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih
dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang
saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat
seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin
negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk
kelas pemimpin.
Pemikiran
Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang
ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku
suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri,
sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam
pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran
Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah
diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
g.
Ibnu Sina
Ia mempunyai
kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu
menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia
telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu
ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
Filsafat dan Pemikirannya
a) Kenabian
Sejalan dengan
teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat
kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru
sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam
mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa
masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif,
tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya
sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya
hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad
memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi
yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu
mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada
umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui
keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni
dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian
kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi
percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar
atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan
dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal
dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang
dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan
melihatnya.
b) Tasawuf
Tasawuf, menurut
ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan
sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf
dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal,
lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa
manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai
ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk
berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai
bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak
diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya,
tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa
puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan.
Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran
dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
h.
Al-Ghazali
Nama
lengkapnya abu hamid Muhammad ibn Muhammad al-ghazali, ath thusi, merupakan
orang Persia asli yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus (dekat
Mashed) dan wafatnya di nisbur pada tahun 505 H/1111 M dalam usia 54 tahun (Moh
fauzan, 2002 : 30)
- Karya-Karya Al-Ghazali
a.
Ilmu kalam dan filsafat yaitu Maqashid Al Falasifah, Tahafut Al Falasifah, Al
Iqtishad Fi Al I’tiqad, Al Muqid Min Adh Dhalal, Maqashid Asma Fi Al Ma’ani,
Asma Al Husna, Faial Al Mustaqim, dll
b.
Kelompok fiqih dan ushu yaitu Al Basith, Al Wasith, Al Wajiz, Al Khulashah Al
Mukhtashar, Al Mustashfa, Al Mankul, Syifakh Al Alifi Qiyas Wa Ta’lil, Adz
Dzari’ah Ila Makarim Al Syari’ah
c.
Kelompok tafsir meliputi Yaqul At Ta’wil Fi Tafsir At Tanzil dan Tawahir
Al-Qur’an
d.
Kelompok ilmu tasawuf dan akhlak secara integral bahasannya ilmu kalam, fiqih
dan tasawuf antara lain Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Mizan Al Amanah, Kimya As Sa’adah,
Misykat Al Anwa, Muh As Syafat Al-Qulub, Minhaj Al Abiding, Ad Dar Fiqhiratfi
Kasyf’ulum, Al Aini Fi Al Wahdat, Al Qurbat Illa Alah Azza Wajalla, Akhlak Al
Abrarwa Najat Min Al Asrar, dll
- Pandangan Al-Ghazali tentang Taukhid dan Kalam
Ilmu ini membahas
tentang dzat Allah, siat-sifatnya yang eternal (al qadimah), yang aktif kreatif
(al’fi’liyyah) yang esensial, dengan nama-nama yang sudah dikenal, juga
membahas, keadaan para Nabi, para pemimpin umat sesudahnya dan para shabat.
Beliau begitu pula membahas tentang keadaan mati dan hidup. Keadaan di
bangkitkan dari kubut (al ba’ats), berkumpul di mahsyar, perhitungan amal dan
melihat tuhan.
Al
ghazali dalam kitabnya ihya’ ‘ulum ad0din menyesalkan adanya pergeseran istilah
“tauhid” pada “kalam” tauhid yang berarti mengesakan Allah merupakan isti
akidah islam yang dibawa nabi Muhammad SAW, sedangkan kalam yang beratti
perkataan, hanya merupakan cara yang digunakan dalam membahas masalah-masalah
aqidah.
Menurut
Al-Ghazali pengertian tauhid pada masa salaf yang terfokus pada kalimat. “La
Ilaha Illa Allah” (tidak ada Tuhan selain Allah), ditanggapi dan dihayati
bervariasi oleh umat waktu itu. Ada orang munafik yang bertauhid itu dihatinya
dan mengucapkannya dengan sadar.
DAFTAR PUSTAKA
Tanpa
Nama Pengarang. (2012). Tokoh-Tokoh
Filsafat Pendidikan. Diakses dari world wide web http://ilmufilsafat.wordpress.com/category/tokoh-tokoh-filsafat-pendidikan/.
Diupload pada 20 Mei 2012.
Setiawan, Agus,
Armawan. (2014). Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya. Diakses
dari world wide web http://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/. Diambil pada 19 December 2014.
http://serbamakalah.blogspot.com/2013/01/tokoh-tokohfilsafat-islam-mata-kuliah.html.
Diupload pada 24 Januari 2013.







0 Response to "TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM"
Posting Komentar